Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Sang Watugunung

(http://baltyra.com)

Kisah Sang Watugunung

Pada sebuah kerajaan yang bernama Kundadwipa, tinggallah seorang raja yang bernama Dang Hyang Kulagiri. Ia mempunyai dua orang istri, yaitu Dewi Sintakasih dan Dewi Sanjiwartia. Dari Dewi Sintakasih ia memperoleh seorang putra bernama Watugunung. 

Suatu hari, Sang raja berkata kepada kedua istrinya, bahwa ia akan pergi ke Gunung Sumeru untuk bertapa. Sang raja berpesan agar kedua istrinya menjaga diri dan merestui kepergiannya. 

Setelah cukup lama sang raja pergi, Dewi Sintakasih yang telah hamil tua bersama Dewi Sanjiwartia memutuskan untuk mencari suaminya ke Gunung Semeru. Setibanya di lereng Gunung Semeru, tiba-tiba perut Dewi Sintakasih sakit. Mereka beristirahat di atas batu datar dan lebar. Tak lama kemudian, Dewi Sintakasih melahirkan bayi laki-laki dan batu tersebut pecah karena tertimpa badan si bayi. Melihat kejadian itu Dewi Sintakasih bersama Dewi Sanjiwartia sangat sedih. 

Ketika itu, turun Ida Hyang Padmayoni, bertanya kepada mereka, “Mengapa kalian bersedih?” Sang Dewi menghormat sambil menjawab; "Ya, yang terhormat batara, hambamu ini ditinggal oleh suami bertapa di lereng Gunung Sumeru, sejak  hamba baru mulai hamil hingga sekarang. Sampai kelahiran putra hamba ini, belum juga beliau kembali, itulah sebabnya hambamu ini bersedih hati," kata sang dewi.

Itulah ungkapan kesedihan kedua dewi tersebut, kepada Ida Hyang Padmayoni yang disebut sebagai Dewa Brahma. Mendengar cerita kedua putri tersebut, Dewa Brahman sangat bahagia dan mendoakan supaya sang bayi panjang umur, terkenal di dunia, serta diberikan anugerah bahwa, sang bayi tidak akan terbunuh oleh para dewa, danawa, detya, dan manusia, tak terbunuh pada malam hari maupun pada siang hari, tidak mati di bawah maupun di atas, tidak terbunuh oleh senjata, kecuali Dewa Wisnu. 

Di waktu yang sama, Dewa Brahman memberikan sang bayi nama, I Watugunung. "Dan karena bayimu lahir di atas batu, aku anugrahi nama I Watugunung."

Usai itu Dewa Brahma kembali ke Kahyangan (Brahma Loka). Setelah itu, kedua dewi kembali ke kraton dengan memangku putranya. I Watugunung mengalami pertumbuhan yang amat cepat, sampai-sampai ibunya merasa kewalahan untuk memberi makan, karena bayinya makan amat kuat. Melihat kejadiaan itu, kedua Dewi sangat heran.

Satu periuk nasi dihabiskan dalam sekali makan, tanpa ada sisanya. Hal tersebut berlangsung terus menerus, hingga suatu hari ketika ibunya  sedang memasak di dapur, sang Watugunung dating mendekati ibunya, seraya meminta nasi untuk dimakan.

"Anakku bersabarlah menunggu, nasinya belum masak," kata sang ibu.

Mendengar kata sang ibu, Watugunung tidak menghiraukan dan terus mendesak supaya ibunya segera memberikan nasi, karena perutnya sudah lapar. Karena tidak tahan, sang Watugunung mengambil nasi sendiri tanpa bantuan ibunya, dan nasi yang sedang dimasak itu langsung disantapnya sampai habis, tanpa menghiraukan sudah matang atau belum.

Melihat ketidaksopanan putranya, Dewi Sintakasih menjadi sangat marah dan langsung memukul kepalanya sampai berlumuran darah. Sang Watugunung menangis terisak-isak menahan luka yang dideritanya. Karena saking marahnya, Watugunung meninggalkan kraton menuju Gunung Emalaya. 

Dalam perjalanan, Watugunung berbuat seenaknya. Ketika lapar, ia merampok makanan rakyat dan langsung dimakannya. Melihat kejadian itu, masyarakat di lereng Gunung Emalaya merasa sangat heran, melihat perilaku anak kecil itu yang berani merampok makanan dari penduduk sekitar.

Kejadian itu terus terjadi sampai mengganggu kesejahteraan dan keamanan penduduk. Karena penduduk merasa kewalahan, akhirnya mereka melapor kepada raja Giriswara. Mendengar laporan itu, raja merasa terkejut, dan seketika naik darah. Sang raja langsung memerintahkan rakyatnya untuk  menghabisi sang Watugunung.  

Mendapat perintah dari sang raja, seluruh lapisan kekuatan daerah menyerang sang Watugunung.  Mereka mengeroyok dan memukul Sang Watugunung dengan berbagai jenis senjata. Namun, seluruh serangan dan seluruh senjata tidak ada yang mempan. Watugunung makin mengada-ada.

Watugunung terus mengobrak-abrik, menyerang, menghancurkan, Sehingga pasukan penduduk Emalaya lari terbirit-birit menyelamatkan jiwanya.. Raja kemudian bertambah emosi mendengar kejadian itu.

Akhirnya sang raja memutuskan untuk maju ke medan perang. Terjadilah perang tanding antara raja Giriswara dengan Watugunung, yang sama-sama hebat dan sakti dalam peperangan. Setelah berlangsung 7 hari, Raja Giriswara berhasil dikalahkan Watugunung, sehingga raja Giriswara tunduk dan menghormat kepada sang Watugunung.

Watugunung melanjutkan  serangan mengarah ke kerajaan Pasutranu yang rajanya bernama Prabu Kuladewa. Karena serangan yang dilakukan Watugunung, rakyat Kuladewa tidak tinggal diam, maka terjadilah pertempuran yang hampir sama dahsyatnya dengan pertempuran di kerajaan Girisrawa. Rakyat Kuladewa kewalahan menghadapi serangan Watugunung, hingga akhirnya mereka lari tunggang-langgang menyelamatkan jiwanya masing-masing. 

Raja Kuladewa dapat dilenyapkan Watugunung. Setelah itu, maka selanjutnya menyerang raja Talu, raja Mrabuana, raja Wariksaya, raja Pariwisaya, raja Julung, raja Sunsang dan yang  lainnya dengan mudah dapat ditundukkan. Daru 27 kerajaan, semuanya dengan mudah dikalahkan.

Kesaktian Watugunung diperolehnya pada saat kelahirannya di kaki Gunung Sumeru, dari Sang Hyang Padmayoni. Setelah 150 tahun sang Watugunung memerintah daerah jajahannya, suatu hari ia bertanya kepada para raja yang telah ditaklukannya. "Hai para raja, apakah ada raja yang hebat lagi  yang belum aku tundukkan?" 

Para raja kemudian menjawab, "Daulat tuanku Maha Raja, masih ada dua orang raja lagi yang belum tuanku tundukkan, yaitu keduanya perempuan yang amat rupawan bertahta di negara Kundadwipa yang sangat diagungkan oleh rakyatnya dan dihormati. Jika tuanku dapat mengalahkannya, kedua raja itu sangat patut untuk dijadikan permaisuri tuanku raja," kata para raja.

Mendengar keterangan dari para raja itu, Watugunung memerintahkan kepada rakyatnya, supaya mempersiapkan diri lengkap dengan  persenjataan untuk menyerang kerajaan Kundadwipa. Berita ini, kemudian didengar kerajaan Kundadwipa, maka rakyat Kundadwipa bersiap-siap untuk menyambut tamu yang tak diundang itu.

Pertempuran terhadi dengan yang sengit dan seram, hingga aliran darah dari para korban menganak sungai. Perwira yang gagah berani sama-sama tidak ada yang mau menyerah, dan pantang mundur. Korban dari kedua belah pihak makin banyak.

Akhirnya Kundadwipa  berhasil ditaklukkan. Kedua raja perempuan dinikahi oleh Watugung. Padahal salah satunya adalah ibunya kandungnya sendiri. Setelah lama bersuami istri, sang Watugunung menyuruh  kedua permaisurinya untuk mencari kutu di kepalanya. Ketika itu, tiba-tiba terjadi gempa bumi, hujan lebat disertai  angin dan disambung oleh petir yang mengguntur di langit. Para dewa sangat khawatir melihat peristiwa itu. 

Para dewa menghadap ke Dewa Siwa dan bertanya, "Yang mulia Batara Siwa, apakah sebab terjadi gerakan-gerakan alam yang hebat seperti sekarang ini?"

Dewa Siva kemudian menjawab, "Kemungkinan besar ada manusia yang berbuat  tidak sesuai dengan perikemanusiaan, tidak sesuai dengan tata susila, membenarkan yang tidak benar, berlaku seperti binatang," kata Dewa Siwa.

Dewa Siwa segera memanggil pendeta para dewa, yaitu Bhagawan Narada (Rsi Priarana) agar segera menyelidiki perbuatan manusia di dunia, yang menyebabkan gerak alam yang dasyat ini. Dang Hyang Narada turun ke duania melaksanakan perintah Dewa Siwa. 

Dang Hyang Narada melihat Sang Watugunung sedang asyik berkutu dengan kedua istrinya. Dang Hyang Narada kembali ke Siwa Loka (Swah Loka).  Melaporkan kejadian itu kepada Dewa Siwa. 

"Yang mulia Dewa Siwa, kami datang dari dunia melaporkan hasil dari penyelidikan yang kami  lakukan dengan sangat teliti. Ternyata memang ada manusia berbuat  yang tidak memenuhi tata susila kemanusiaan, yaitu sang Watugunung  kedua ibunya.”

Dewa Siwa kemudian bertutur dengan kemarahan dan langsung mengutuk Watu Gunung, "Hai kau sang Watugunung, semoga engkau mati dibunuh Sang Hyang Narayana (Dewa Wisnu) karena perbuatan yang sangat dursila itu, yaitu mengambil ibu kandung dipakai sebagai istri.”

Itulah kutukan Dewa Siwa disaat kemarahnya memuncak.

Pada suatu hari, kedua istri Sang Watugunung kembali mencarikan kutu. Tiba-tiba kedua istrinya tercengang, ketika melihat bekas luka pada kepala yang sedang dielus-elusnya itu. Teringatlah sang Dewi Sintakasih, dengan perbuatannya yang terdahulu, yaitu memukul kepala putranya hingga menimbulkan luka di kepalanya. Sang Dewi tidak dapat berbuat apa-apa, ia hanya diam tercengang, bahwa yang dipakai suami adalah anaknya sendiri. 

Percakapan yang tadinya ramai, seketika menjadi hening. Watugunung kemudian bertanya kepada kedua permaisurinya, “Hai adinda, kenapa kalian diam?”

Dengan terdiam sejenak, dadanya merasa sesak, Sang Dewi kemudian menjawab, “Ampun tuanku raja, kami terdiam kami kami sedang ngidam.”

“Apa yang adinda idamkan?” Tanya Watugunung. 

“Suamiku yang terhormat, kami menginginkan permaisuri Dewa Wisnu sebagai pembantu” Jawab sang Dewi.

“Aku tidak mengetahui temapat Dewa Wisnu, apa dinda tahu?” Tanya sang raja.

“Oh, tempat Dewa Wisnu ada di bawah tanah,” jawab sang dewi.
“Baiklah, kalau begitu aku akan mencarinya,” jawab sang raja.

Watugunung mulai memusatkan pikirannya dengan mantap, sehingga dengan kekuatan batinnya, bumi bisa pecah sampai lapis ketujuh. Kemudian ia turun dan disambut oleh Dewa Wisnu. “Apa maksud kedatanganmu? Tanya Dewa Wisnu. 

“Kedatanganku kesini, karena berita yang kudengar di dunia, bahwa batara sangat pengasih, apapun yang diminta manusia, pasti batara kasih,” jawab Watugunung.

“Apa yang kau katakana itu memang benar,” ujar Dewa Wisnu.
“Jika engkau memang mencintai diriku, saya mohon permaisuri Dewa Wisnu!” pinta Sang Watugunung.
“Permintaanmu bukan perilaku manusia, permintaanmu tidak benar, tidak boleh meminta istriku, mintalah yang lain, aku akan penuhi,” jawab Sang Wisnu.
“Jika begitu, maka Dewa Wisnu telah berbohong, berikan istrimu maka kamu akan selamat,” kata Watugunung marah.

“Seperti yang aku katakan, kalau aku tidak mengizinkan,” jawab Dewa Wisnu. 
“Kalau begitu, marilah kita berperang, apakah engkau berani?” Kata Watugunung yang semakin marah.

Dewa Wisnupun sangat marah dan berkata, “Aku tidak memenuhi permintaanmu, karena permintaanmu tidak wajar”.

Akhirnya Watugung dan Dewa Wisnu bertarung. Pertarungannya terjadi dengan sangat dasyat, menyebabkan gelombang laut yang tinggi dan bumi bergetar. Lalu keluarlah api dari perwujudan Dewa Wisnu, kemudian disemburkan ke Watugunung, dibelit oleh bajra, ditikam dengan cakra, dan akhirnya Sang Watugung dapat ditaklukkan. 

Dengan dada tertusuk senjata Dewa Wisnu, Watugunung berkata, “Aku tidak akan henti-hentinya bermusuhan denganmu, sampai dengan penjelmaanku yang ketujuh, aku tidak akan melupakan hal ini.”

Dewa Wisnu menjawab, “Baiklah, tapi dimana kau akan menjelma?”

Watugunung menjawab, “Aku akan menjelma di Lengka dengan nama Dasasia.”

Dewa Wisnu kemudian bersabda, “Wahai Watugunung, aku akan menjelma di Yodyapura, pada Maharaja Dasaratha dan setiap kali aku lahir, aku selalu dapat membunuhmu!”
Kemudian sang Watugunung mati.
Sumber:  Lontar Medangkamulan lembar 1a – 9b (dalam https://hindualukta.blogspot.com/2016/03/cerita-watu-gunung-dalam-lontar.html)

I Wayan Ardika
I Wayan Ardika Saya adalah Seorang Guru Sekolah Dasar yang bertugas di Kab. Jembrana, Bali. Melalui Blog ini, saya ingin terus belajar sambil berbagi.

Posting Komentar untuk "Kisah Sang Watugunung"